Jumat, 17 Februari 2012

Mempertanyakan ke-Manggarai-an Kita

KEMANGGARAIAN kita yang khas nampak dan terpancar pada tombo lorong tae mbate ‘bertutur seturut bahasa warisan leluhur’. Jika kita mengklaim diri sebagai asli Manggarai tetapi tidak mahir berbahasa Manggarai, maka cap asli itu patut diragukan. Dalam hal ini, ihwal asli atau tidak asli bukan soal etnis, melainkan pada bahasa. Hanya saja, orang Manggarai asli semestinya tidak hanya tombo molor atau jaong di’a ‘mampu berbahasa Manggarai secara tepat konteks’, tetapi juga mengenal dan menguasai isi budaya.
Isi budaya ini terimplementasi dalam holes weki sebagai manusia yang cerdas dan santun dalam bertutur kata.

Namun demikian, bagaimana nilai itu dihayati dan diterapkan dalam konteks realitas pergaulan sosial. Akhir-akhir ini, kelihatannya nilai budaya holes weki  warisan leluhur itu sudah mulai pudar. Hal ini tampak dalam fenomena pergaulan keseharian anak-anak Manggarai yang sudah kehilangan identitasnya  kemanggaraiannya. Contoh yang sangat sederhana misalnya, jarang kita jumpai anak-anak sekarang menggunakan kata tabe sembari menundukkan kepala ketika berjalan atau melewati orang yang lebih tua, atau kata neka rabo sebuah kata yang menunjukkan minta maaf kita melakukan kesalahan. Atau juga misalnya, budaya tutup kepala dengan tengan kiri sembari tangan kanan bersalaman dengan tamu.

Justru yang terjadi adalah erosi nilai budaya yang sebetulnya masih relevan ditengah hingar bingar budaya yang tidak beradab.  Inflitrasi nilai yang dibawa orang-orang Barat ke Manggarai khusunya kelihatannya berputar lebih kencang mempengaruhi nilai-nilai ke-Manggarai-an kita. Dari pada memperkuat, dan mengencangkan ikat pinggang kita untuk terus mempertahankan nilai-nilai budaya Manggarai. Kita tidak bisa berbangga lagi dengan nilai-nilai budaya kita, jika kita tidak terus memelihara dan mengajarkannya kepada anak cucu kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar