KEMANGGARAIAN kita yang khas nampak dan terpancar pada tombo
lorong tae mbate ‘bertutur seturut bahasa warisan leluhur’. Jika kita
mengklaim diri sebagai asli Manggarai tetapi tidak mahir berbahasa Manggarai,
maka cap asli itu patut diragukan. Dalam hal ini, ihwal asli atau tidak asli
bukan soal etnis, melainkan pada bahasa. Hanya saja, orang Manggarai asli
semestinya tidak hanya tombo molor atau jaong di’a ‘mampu
berbahasa Manggarai secara tepat konteks’, tetapi juga mengenal dan menguasai
isi budaya.
Isi budaya ini terimplementasi dalam holes weki sebagai manusia yang cerdas dan santun dalam bertutur kata.
Isi budaya ini terimplementasi dalam holes weki sebagai manusia yang cerdas dan santun dalam bertutur kata.
Namun demikian, bagaimana nilai itu dihayati dan diterapkan
dalam konteks realitas pergaulan sosial. Akhir-akhir ini, kelihatannya nilai
budaya holes weki warisan leluhur
itu sudah mulai pudar. Hal ini tampak dalam fenomena pergaulan keseharian
anak-anak Manggarai yang sudah kehilangan identitasnya kemanggaraiannya. Contoh yang sangat
sederhana misalnya, jarang kita jumpai anak-anak sekarang menggunakan kata tabe
sembari menundukkan kepala ketika berjalan atau melewati orang yang lebih
tua, atau kata neka rabo sebuah kata yang menunjukkan minta maaf kita
melakukan kesalahan. Atau juga misalnya, budaya tutup kepala dengan tengan kiri
sembari tangan kanan bersalaman dengan tamu.
Justru yang terjadi adalah erosi nilai budaya yang
sebetulnya masih relevan ditengah hingar bingar budaya yang tidak beradab. Inflitrasi nilai yang dibawa orang-orang
Barat ke Manggarai khusunya kelihatannya berputar lebih kencang mempengaruhi
nilai-nilai ke-Manggarai-an kita. Dari pada memperkuat, dan mengencangkan ikat
pinggang kita untuk terus mempertahankan nilai-nilai budaya Manggarai. Kita
tidak bisa berbangga lagi dengan nilai-nilai budaya kita, jika kita tidak terus
memelihara dan mengajarkannya kepada anak cucu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar